Tugas MK. Sosiologi Pedesaan


INTERAKSI POLITIK, TOKOH AGAMA DAN MASYARAKAT DALAM PESTA DEMOKRASI DITINGKAT DESA/KELURAHAN[1]
Oleh:

Edi Suriawan Hakim[2]

A. Pendahuluan
Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem darisistem sosial. Perspektif atau pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalamsuatu system, yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memilikihubungan yang relatif tetap diantara elemen-elemen pembentuknya. Kehidupan politik dari perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya denganmenekankan pada kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada struktur hubunganantara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik. Hubungan antara berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya merupakan satuaspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok penekan merupakan bagian lain dari suatu sistem politik. Dengan merubah sudut pandang maka sistem politik bisa dilihat sebagaikebudayaan politik , lembaga-lembaga politik, dan perilaku politik.Model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan masukan(input ) ke dalam sistem politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi keluaran (output ).
Dalam model ini masukan biasanya dikaitkan dengan dukunganmaupun tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintahan untuk bisa menghasilkankesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka efektifitas sistem politik adalahkemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.Sistem politik pada suatu negara terkadang bersifat relatif, hal ini dipengaruhioleh elemen-elemen yang membentuk sistem tersebut. Juga faktor sejarah dalam perpolitikan di suatu negara. Pengaruh sistem politik negara lain juga turut memberikontribusi pada pembentukan sistem politik disuatu negara. Seperti halnya sistem politik di Indonesia, seiring dengan waktu, sistem politik di Indonesi selalumengalami perubahan.

B.  Konsep Politik, Tokoh Agama, Masyarakat dan Demokrasi

Istilah politik berasal dari kata Polis (bahasa Yunani) yang artinya Negara Kota. Dari kata polis dihasilkan kata-kata, seperti: 1. Politeia artinya segala hal ihwal mengenai Negara.; 2. Polites artinya warga Negara.; 3. Politikus artinya ahli Negara atau orang yang paham tentang Negara atau negarawan.; 4. Politicia artinya pemerintahan Negara.
Secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu system politik atau Negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari system tersebut dan bagaimana melaksanakan tujuannya. Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Kekuasaan yaitu kemampuan sesorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok sesuai dengan keinginan dari pelaku (Hidayat, 2000).
Manusia atau orang dapat diartikan berbeda-beda menurut biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Penggolongan manusia yang paling utama adalah berdasarkan jenis kelaminnya. Secara alamiah, jenis kelamin seorang anak yang baru lahir entah laki-laki atau perempuan. Penggolongan lainnya adalah berdasarkan usia, mulai dari janin, bayi, balita, anak-anak, remaja, akil balik, pemuda/i, dewasa, dan (orang) tua. Selain itu masih banyak penggolongan-penggolongan yang lainnya, salah satunya adalah tokoh. Tokoh adalah istilah untuk orang yang tenar, misalnya 'tokoh politik', 'tokoh yang tampil dalam film', 'tokoh yang menerima penghargaan' dan lain-lain. Berarti yang dimaksud dengan tokoh agama adalah orang yang tenar dan sangat mengerti tentang agama yang dianutnya.
Demokrasi itu berasal dari kata latin yang secara harfiah berarti Kekuasaan Untuk Rakyat. Atau oleh pendukungnya disebutkan sebagai: Dari Rakyat, Oleh Rakyat, dan Untuk Rakyat. Setiap orang, siapa pun dia, memiliki satu suara yang sama nilainya. Jadi, dalam demokrasi, yang dipresentasikan dalam bentuk Pemilihan Umum, suara seorang pelacur, suara seorang perampok, suara seorang penzina, suara seorang pembunuh, suara seorang munafik, dan suara seorang musuh Allah itu dianggap senilai dan sederajat dengan suara seorang ustadz yang benar-benar ustadz, atau dianggap sama dan sederajat dengan suara orang yang sungguh-sungguh memperjuangkan Islam.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut (Cahyono, 2005).
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
C. Problematika Politik Yokoh Agama dalam Demokrasi
Saat tokoh agama berpolitik, maka akan muncul permasalahan. Namun masalahnya lebih terletak pada penggunaan otoritas dan penggunaan legitimasi, bukan pada substansi keterlibatan tokoh agama dalam politik praktis. Jadi masalahnya, apakah terjadi ‘authority abuse’ saat tokoh-tokoh agama berpolitik atau tidak. Selama tidak ada penyalahgunaan otoritas, maka politik tokoh agama tidak menjadi masalah, bahkan sangat dibutuhkan. Menjelang pemilihan umum (pemilu) 2004 digelar, banyak sekali tulisan yang bernada gugatan terhadap keabsahan para ulama atau kiai yang terjun di dunia politik praktis dengan aktif di salah satu partai politik (parpol). Bagi sebagian kalangan, kiai seharusnya tidak masuk ke kancah politik praktis, dan tetap berkonsentrasi di bidang keagamaan dan kemasyarakatan.
Alasannya, wilayah kiai adalah sakral, berdimensi gerakan moral yang penuh dengan nilai-nilai keikhlasan, tanpa tendensi dan ambisi, menjadi milik semua golongan. Sedang dunia politik adalah profan yang meniscayakan adanya kepamrihan, penuh muatan politis, tendensius, dan akibatnya para kiai hanya menjadi alat politik kelompok tertentu. Jika berpolitik praktis dan menjadi juru kampanye parpol, para kiai akan terjebak pada logika politik (the logic of politics) yang sering memanipulasi umat atau masyarakat basisnya demi kepentingan politik, yang pada gilirannya menggiring ke arah logika kekuasaan (the logic of power) yang cenderung kooptatif, hegemonik, dan korup. Akibatnya, kekuatan logika (the power of logic) yang dimiliki kiai, seperti logika moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian terhadap masyarakat basisnya akan menjadi hilang, terkalahkan oleh logika kekuasaan tadi (Tjiptoherijanto, 1983).
Sepintas, argumen yang diajukan beberapa kalangan agar kiai tidak berpolitik sangat luhur dan mulia. Sebagian kalangan itu sepertinya menghendaki agar kesucian, keluhuran moral, dan tugas mulia para kiai yang ada di dunia ‘lain’ harus tetap terjaga dari ‘comberan’ politik yang penuh dengan kenistaan. Bahkan, boleh dibilang mereka berusaha menyelamatkan para kiai dari godaan politik yang kotor.
Sebelum lebih jauh, perlu diketahui bila penggunaan istilah kiai, merupakan sebutan lazim untuk istilah ulama di negeri ini. Dalam tata bahasa Arab (nahwu-sharaf), ‘ulama merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim, yang berarti orang yang berilmu, terutama ilmu keagamaan. Penggunaan istilah ulama, kemudian jarang digunakan, saat Islam dikembangkan di Indonesia, yang mana unsur lokalitas budaya masih dipertahankan.

D. Otoritas Tokoh Agama dalam Membangun Demokrasi Desa
Tokoh agama dalam berpolitik, bearti masuk ke salah satu parpol, tokoh agama bisa menyuarakan kebenaran, meski ia harus kena pecat dari jabatannya, tidak punya teman di pemerintahan, dan seterusnya. Ini yang dikatakan Rasulullah Saw. dengan “qul al-haqqa walaw kaana murran” (konsisten terhadap kebenaran meski dengan resiko yang sangat berat) dan menjadi semangat berpolitik para tokoh agama.
Saat tokoh agama berpolitik, maka akan muncul permasalahan. Namun masalahnya lebih terletak pada penggunaan otoritas dan penggunaan legitimasi, bukan pada substansi keterlibatan tokoh agama dalam politik praktis. Jadi masalahnya, apakah terjadi ‘authority abuse’ saat tokoh-tokoh agama berpolitik atau tidak. Selama tidak ada penyalahgunaan otoritas, maka politik tokoh agama tidak menjadi masalah, bahkan sangat dibutuhkan.
Penilaian terjadi ‘authority abuse’ ini tidak boleh hanya sepihak, atau berasal dari lawan-lawan politik tokoh agama saja. Sebab penilaian dari lawan politik hanya memunculkan bias saja. Karena itu, penilaian ‘authority abuse’ harus berasal dari basis konstituen para tokoh agama. Jika basis konstituen merasa terjadi penyalahgunaan kewenangan, maka kontrak politik dengan para tokoh agama itu harus segera diputus, tidak diperpanjang.
Apalagi dalam sejarahnya, jika terjadi penyalahgunaan otoritas tokoh agama, maka akan muncul kesadaran pengikutnya untuk melakukan gerakan ‘perlawanan’. Gerakan reformasi gereja yang dipandegani Martin Luther menjadi salah satu contohnya. Jika para tokoh agama tega melakukan penyelewengan otoritas, bisa jadi peristiwa tragis Revolusi Prancis akan terulang kembali.

E.  Desentralisasi Desa tujuan Akhir Demokrasi Pedesaan yang Efisien
Demokrasi desa merupakan demokrasi asli yang lebih dahulu terbentuk sebelum negaraIndonesia berdiri, bahkan pada masa kerajaan sebelum era kolonial. Ciri-ciri dari demokrasi desa antara lain adanya mekanisme pertemuan antar warga desa dalam bentuk-bentuk pertemuan publik seperti musyawarah/ rapat, dan ada kalanya mengadakan protes terhadap penguasa (raja)secara bersama-sama.Dengan pengertian demokrasi desa seperti di atas, pada tataran realitas terdapat keterkaitanantara aspek ekonomi dan politik dalam konteks rakyat pedesaan. Misalnya di Jawa pada kurunwaktu pasca revolusi kemerdekaan hingga 1960an, Moh. Hatta berpendapat, µdi desa-desa yangsistem demokrasinya masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian (dari) adat istiadat yang hakiki,dasarnya adalah  pemilikan tanah yang komunal  yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama, sewaktu mengadakan kegiatan ekonomi.´Ia juga menambahkan, struktur demokrasi yang hidup dalam diri bangsa Indonesia harus berdasarkan pada demokrasi asli yang berlaku di desa´. Perkembangan jaman menunjukkandesa-desa di Jawa mengalami perubahan yang diakibatkan oleh kemampuan adaptasi desaterhadap tekanan eksternal, misalnya migrasi penduduk, atau terhadap bentuk proyek kebijakanekonomi dan politik lainnya.Saat ini, demokrasi (lokal) dan desentralisasi, merupakan dua isu utama dalam statecraft
 Indonesia pasca Orde Baru. Desentralisasi secara umum dikategorikan ke dalam dua perspektif utama, yakni perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi.Perspektif desentralisasi politik menerjemahkan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; sedangkan perspektif desentralisasi administrasi diartikan sebagai pendelegasian wewenang administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Jika desentralisasi merupakan arena hubungan antara desa dengan pemerintah supra desa (Negara) yang bertujuan untuk memberikan pengakuan terhadapeksistensi desa, memperkuat identitas lokal, membangkitkan prakarsa dan inisiatif lokal, sertamembagi kekuasaan dan kekayaan kepada desa, dan mewujudkan otonomi desa, makademokratisasi merupakan upaya untuk menjadikan penyelenggaraan pemerintah (desa) menjadilebih akuntabel, responsif, diakui oleh rakyat; mendorong parlemen desa berfungsi sebagai badan perwakilan dan intermediary agent (dalam aspek artikulasi dan agregasi kepentingan formulasi kebijakan serta kontrol terhadap eksekutif desa); serta memperkuat partisipasimasyarakat desa dalam proses pemerintahan dan pembangunan desa. Partisipasi juga menandai keikutsertaan kalangan marjinal yang selama ini disingkirkan dari proses politik dan ekonomi.
Perspektif desentralisasi politik menekankan bahwa tujuan utama dari desentralisasi adalah untuk mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal sebagai  persamaan politik, akuntabilitas lokal, dan kepekaan lokal.
Perspektif  desentralisasi administrasi lebih menekankan pada aspek efisiensi penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan ekonomi di daerah, sebagai tujuan utamadari desentralisasi. Sedangkan desentralisasi politik ini pada tingkat desa menekankan padaaspek kelembagaan desa, pembagian peran serta berfungsi atau tidaknya kelembagaan desa.

F. Penutup
Pada masa Orde Baru dengan alasan stabilitas politik untuk menunjang pembangunan nasional,desa diartikan sebagai konsep administratif yang berkedudukan di bawah kecamatan. Struktur  pemerintahan desa diseragamkan melalui UU No. 5/1979. Masa reformasi merupakan titik tolak dari slogan kembali ke desa, yang menekankan pada pembaruan otonomi desa, yangditandai oleh desentralisasi kekuasaan dengan terbitnya UU No. 22/1999.
Mencermati masalah tersebut tampaklah bahwa kecenderungan penyeragaman, resentralisasi, dan pembentukan lembaga baru oleh pemerintah pusat terhadap pemerintahan desa masih tetapdominan, sebagaimana ditampilkan oleh UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004. Beberapa persoalan pokok yang ditampilkan oleh UU no 32/2004 adalah masalah keterwakilan masyarakatdesa dalam lembaga BPD dan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahandesa. Dengan kondisi sedemikian, bagaimana nasib demokrasi desa? Mesti ada mekanisme yangdiciptakan, berbasis jaringan antar komunits, untuk memberikan perlindungan dan penguatanlembaga-lembaga asli desa, penguatan kapasitas politik kelembagaan desa yang mencerminkanasas keterwakilan rakyat desa yang hakiki, serta upaya untuk memperkuat ekonomi desa.
Sekali lagi, keterlibatan para tokoh agama dalam politik, bukan berarti berupaya menggabungkan konsep ‘din wa daulah’ (agama dan negara) yang dipegang erat kelompok skripturalis-fundamentalis, tapi untuk memberikan kesempatan para tokoh agama untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa dan masyarakat basisnya.



DAFTAR PUSTAKA
 Cahyono, Heru. 2005. Konflik Elite Politik di Pedesaan. Yogya: Pustaka Pelajar.
Hidayat, Syarif. 2000. Refleksi Realitas Otonomi Diaerah dan Tantangan Ke Depan. Jakarta: Pustaka Quantum

Tjiptoherijanto, dan Yumiko. 1983. Demokrasi di Pedesaan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.








[1] Disajikan pada Diskusi Mata Kuliah Sosiologi Politik
[2] Mahasiswa Program Pasca Sarjana Pendidikan IPS Unhalu

Komentar